ME

ME

Selasa, 27 Juli 2010

Kimi wa kimi dake shika inai yo
Kawari nante hoka ni inainda
Kare naide ichirin no hana

Hikari ga matomo ni sashikoma nai kimi
Marude hikage ni saita hana no you
Nozon da hazu ja naka tta basho ni ne
Harasarete ugokezu ni irun da ne
Toji kaketa kimochi hakidaseba ii
Itami mo kurushi mi mo subete wo uketomeru yo
Dakara naka naide waratte ite ichirin no hana

Ima ni mo karete shimai sou na kimi
Mujaki na sugata ga mou ichido mitakute
Kimi no chikara ni naritainda
Tatoe kimi igai no subete no hito wo teki ni mawasu
Toki ga kite mo kimi no koto mamori nukukara

(Rap)
YOU SHOULD NOTICE THAT THERE IS NO OTHER.
YOU SHOULD NOTICE THAT THERE IS NO NEXT TIME
YOU SHOULD NOTICE THAT THERE IS NO OTHER.
YOU SHOULD NOTICE THAT THERE IS NO NEXT...
TIME NOTICE THAT YOU SHOULD NOTICE THAT
NOTICE THAT THERE’S NO OTHER

Kimi wa kimi dake shika inai yo
Ima made mo korekara saki ni mo
Tatoe kimi igai no subete no hito wo teki ni mawasu
Toki ga kite mo kimi no koto mamori nuku kara
Make naide ichirin no hana
Rays of light from the stars in the night sky above
send a plea from across the ages
with colours that haven’t faded
It’s somebody’s cry, reflected in those sparkling eyes
A wish carried on the wind, a request from the moon
to live as fully as possible, day by day
So that our wishes, too, will be in someone’s heart someday,
let’s shine on like that star

1, 2, and so the bells echo, spreading far and wide in the depths of my heart
A legendary stardrop, inside it there’s so many narrow paths etched out
With time, the ages pass; a shooting star passes without a sound
Close your eyes and listen hard, maybe you’ll hear a “Goodbye”

A black and white photo of the entire sky, a rumbling muffler - white breath
Just wanna get a little closer, I’ll race to the high ground up there
Taking out my huge telescope, out of the lens came stardust
Time after time, an epic from across the ages

# Now that the light is released,
surely it can’t fail, across time it’s got to reach someone
The light of glory is right across the way
It’s the story I’m about to weave with you all

REPEAT *

With my birth cry, a small light and a great light met across space and time
Their shine became one, to begin a new story
Like a constellation that connects the dots,
why shouldn’t we create a lovely painting for someone?
Take a look above you; see, it’s a winter diamond
This slow-moving galaxy, soon enough, will give you your courage back

REPEAT #

REPEAT *

This sky is the only one there is; it spreads over all. And beyond the sea,
right now, new life takes breath, and life is cut off, while stars shine on, like goddesses
continuing a long journey, or starting anew; in spring, summer, fall and winter
even a second is enough, just a moment is enough, to engrave my thoughts, to shine without end across the ages

The story goes on in the heart
the “you” of that day takes a night train

Rays of light from the stars in the night sky above
send a plea from across the ages
with colours that haven’t faded
It’s somebody’s cry, reflected in those sparkling eyes
A wish carried on the wind, a request from the moon
to live as fully as possible, day by day
Rays of light from the stars in the night sky above
send a plea from across the ages
with colours that haven’t faded
So that our wishes, too, will be in someone’s heart someday,
let’s shine on like that star

Let’s shine on like that star
Berikut ini adalah soal – soal yang saya ambil dari soal Ujian Nasional tahun 2000 s.d. 2007
Materi Pokok : Aturan Kosinus dan Sinus
1. Diketahui A dan B adalah titik – titik ujung sebuah terowongan yang dilihat dari C dengan sudut ACB = 45°. Jika jarak CB = p meter dan CA = 2p√2 meter, maka panjang terowongan itu adalah … meter.
a. p √5
b. p √17
c. 3√2
d. 4p
e. 5p
Soal Ujian Nasional tahun 2007
2. Sebuah kapal berlayar dari pelabuhan A dengan arah 044° sejauh 50 Km. Kemudian berlayar lagi dengan arah 104° sejauh 40 Km ke pelabuhan C Jarak pelabuhan A ke C adalah ... Km.
a. 10 √95
b. 10 √91
c. 10 √85
d. 10 √71
e. 10 √61
Soal Ujian Nasional tahun 2006
3. Sebuah kapal berlayar kea rah timur sejauh 30 mil Kemudian melanjutkan perjalanan dengan arah 030° sejauh 60 mil. Jarak kapal terhadap posisi saat kapal berangkat adalah … mil.
a. 10 √37
b. 30 √7
c. 30 √(5 + 2√2)
d. 30 √(5 + 2√3)
e. 30 √(5 – 2√3)
Soal Ujian Nasional tahun 2005 kurikulum 2004
4. Diketahui segitiga BAC dengan AB = 7 cm, BC = 5 cm, dan AC = 6 cm. Nilai sin BAC = ....
a. 5/7
b. 2/7 √6
c. 24/49
d. 2/7
e. 1/7 √6
Soal Ujian Nasional tahun 2005
5. Jika panjang sisi- sisi Δ ABC berturut – turut adalah AB = 4 cm, BC = 6 cm, dan AC = 5 cm, sedang sudut BAC = α, sudut ABC = β, sdut BCA = γ, maka sin α : sin β : sin γ = ….
a. 4 : 5 : 6
b. 5 : 6 : 4
c. 6 : 5 : 4
d. 4 : 6 : 5
e. 6 : 4 : 5
Soal Ujian Nasional tahun 2004
6. Nilai sinus sudut terkecil dari segitiga yang sisinya 5 cm, 6 cm, √21 cm adalah ….
a. 1/5 √21
b. 1/6 √21
c. 1/5 √5
d. 1/6 √5
e. 1/3 √5
Soal Ujian Nasional tahun 2003
7. Diketahui panjang jari – jari lingkaran luar Δ PQR seperti pada gambar adalah 4 cm dan panjang PQ = 6cm. Nilai cos sudut PQR = ....
a. 3/4 √7
b. 1/4 √7
c. 3/7 √7
d. 1/3 √7
e. 4/7 √7
Soal Ujian Nasional tahun 2002
8. Nilai cos sudut BAD pada gambar adalah ….

a. 17/33
b. 17/28
c. 3/7
d. 30/34
e. 33/35
Soal Ujian Nasional tahun 2001
9. Diketahui Δ PQR dengan PQ = 6 cm, QR = 4 cm, dan sudut PQR = 90°. Jika QS garis bagi sudut PQR, panjang QS = ….
a. 12/10 √2
b. 12/5 √2
c. 24/5 √2
d. 5/6 √2
e. 6√2
Soal Ujian Nasional tahun 2001
10. Luas segitiga ABC adalah ( 3 + 2√3 ) cm. Jika panjang sisi AB = ( 6 + 4√3 ) cm dan BC = 7 cm, maka nilai sisi ( A + C ) = ….
a. 6√2
b. 6√2
c. ½
d.
e.
Soal Ujian Nasional tahun 2000
Materi Pokok :
11. Nilai dari cos 40° + cos 80° + cos 160° = ….
a. –½√2
b. –½
c. 0
d. ½
e. ½√2
Soal Ujian Nasional tahun 2007
12. Nilai sin 105° + cos 15° = ….
a. ½ ( –√2 – √2 )
b. ½ ( √3 – √2 )
c. ½ ( √6 – √2 )
d. ½ ( √3 + √2 )
e. ½ ( √6 + √2 )
Soal Ujian Nasional tahun 2006
13. Nilai dari tan 165° = ….
a. 1 – √3
b. –1 + √3
c. –2 – √3
d. 2 – √3
e. 2 + √3
Soal Ujian Nasional tahun 2005 kurikulum 2004
14. Diketahui persamaan cos 2x + cos x = 0, untuk 0 < x < π nilai x yang memenuhi adalah ....
a. π/6 dan π/2
b. π/2 dan π
c. π/3 dan π/2
d. π/3 dan π
e. π/6 dan π/3
Soal Ujian Nasional tahun 2005
15. Diketahui cos ( x – y ) = 4/5 dan sin x.sin y = 3/10. Nilai tan x.tan y = ....
a. –5/3
b. –4/3
c. –3/5
d. 3/5
e. 5/3
Soal Ujian Nasional tahun 2004
16. Diketahui A adalah sudut lancip dan . Nilai sin A adalah ....
a.
b.
c.
d.
e.
Soal Ujian Nasional tahun 2003
17. Nilai sin 15° = ….
a.
b.
c.
d.
e.
Soal Ujian Nasional tahun 2002
18. Diketahui sin .cos  = 8/25. Nilai
a. 3/25
b. 9/25
c. 5/8
d. 3/5
e. 15/8
Soal Ujian Nasional tahun 2001
19. Diketahiu sin x = 8/10, 0 < x < 90°. Nilai cos 3x = ….
a. –18/25
b. –84/125
c. –42/125
d. 6/25
e. –12/25
Soal Ujian Nasional tahun 2000
20. Bentuk ekivalen dengan ....
a. 2 sin x
b. sin 2x
c. 2 cos x
d. cos 2x
e. tan 2x
Soal Ujian Nasional tahun 2000

Minggu, 25 Juli 2010

Terbakar
Cerpen Korrie Layun Rampan

Apakah yang unik dikisahkan tentang Bentas Babay? Arus sungai yang berubah dari sebuah dataran tanjung yang berlekuk ke selatan, dan tanjung yang memanjang itu digali oleh Babay --seorang pedagang yang selalu memintas di tempat itu dengan perahu berdayung dua. Karena ingin memperpendek jarak, Babay menggali tanjung curam itu. Oleh aliran air sungai yang deras selama musim banjir, lama-kelamaan tanjung itu putus dan membentuk sungai baru. Bagian ke hilir sungai itu membentuk sebuah teluk, yang pada arus air dalam, teluk itu memusar dengan ulak yang masuk ke dalam lingkaran arus yang deras. Ngeri sekali tampaknya.

Karena terusan yang berubah jadi sungai itu digali Babay, hingga kini orang menyebutnya Bentas Babay, yang maknanya bertemunya sungai baru akibat putusnya sebuah dataran tanjung.

Tapi penting apakah hingga ia perlu diceritakan? Adakah di tempat itu pernah terjadi sesuatu yang istimewa seperti pertempuran sengit saat pendaratan tentara Sekutu di Normandia? Atau ada pohon berhantu seperti beringin tua dan meninggalkan kematian dari zaman ke zaman seperti kelaparan dan pembantaian yang mengerikan? Atau ada hal-hal lainnya yang mengandung kisah seperti perselingkuhan dan marabencana?

Kukatakan dengan cepat bahwa kisah itu adalah bencana!

Tapi bukankah marabencana selalu ada di setiap waktu di setiap daerah?

Perlu apakah dikisahkan agar diketahui orang lain?

Kukatakan dengan segera bahwa kisah marabencana itu dimulai dari rasa suka yang berlimpah! Seperti Jayakatwang yang berpesta pora setelah mengalahkan Kertanegara, lalu tumpas karena diserang tentara Tartar yang diarahkan oleh Raden Wijaya?

Tapi cerita yang akan kukisahkan ini bukan sebuah peperangan. Tidak juga tentang hantu atau demit, tapi sebuah kejadian yang menimpa empat pemuda yang baru mengenal jatuh cinta!

Buru-buru kukatakan bahwa bentuk sungai yang akhirnya menjadi Bentas Babay merupakan sebuah tanjung yang kemudian membentuk rantau yang panjang dan di bagian hilir tanah genting membentuk teluk luas yang airnya selalu menggenang hampir seperti danau. Hutan di bagian daratan teluk yang dinamai Dataran Ruratn dibuka oleh Mongkur menjadi ladang yang luas. Namun musim yang kadang tak menentu karena pengaruh El-Nino dan penebangan hutan oleh pengusaha HPH membuat banjir sering datang tidak tepat waktu dan menghancurkan padi yang baru mulai berbulir. Ikan-ikan berpesta-pora di ladang yang luas itu, dan setelah habis banjir yang tertinggal hanya dataran huma yang dipenuhi lumpur, karena padi dan palawija binasa dihanyutkan arus air yang deras. Karena sering terlanda paceklik, untuk menyambung hidup, Mongkur kadang kala bekerja membantu Babay menggali terusan di tanjung itu.

Babay selalu istirahat dan menambatkan perahunya di jamban Mongkur jika telah tiba di kawasan itu. Entah beberapa kali pedagang itu sudah ikut menumpang tidur di rakit jamban itu. Namun di suatu ketika terjadi kehebohan karena Mongkur menemukan pembantu pendayung perahu Babay meniduri istrinya dan lelaki peladang itu tak beri ampun, ia menetak lelaher lelaki muda itu. Akibatnya, Mongkur sendiri digiring ke dalam tahanan, sementara Babay harus menghentikan pekerjaannya menggali terusan untuk memotong genting tanah tanjung di situ karena harus menjadi saksi perbuatan asusila yang berujung pada tragedi pembunuhan itu.

Beberapa tahun kemudian alur terusan yang dibuat Babay telah berubah menjadi sungai, namun rumah Mongkur ditemukan sudah runtuh karena tak ada yang memelihara, dan di tempat itu menjadi tempat yang mengerikan karena tak ada orang yang berani berdiam di situ, karena tanahnya pernah dialiri darah seorang peselingkuh. Kata orang, kadang di suatu malam, jika sedang terjadi bulan mati, terdengar suara teriakan dan lolongan minta ampun, seperti suara seorang lelaki. Kadang ada tawa dan tangis saling berbarengan. Orang-orang yang memintas di tempat itu di malam hari selalu merasa ngeri, dan mereka cepat-cepat mendayung sampan agar segera lewat ke hulu atau ke hilir. Ketakutan itu berakhir, setelah orang tak lagi menggunakan pengayuh, tapi menggunakan ketinting, sehingga teriakan atau suara tangis roh kematian tak terdengar, karena gemuruh kerasnya suara mesin!

Entah cerita itu benar atau hanya dikarang oleh ahli pengisah lisan, tak ada yang tahu. Tak ada juga yang tahu apakah memang ada orang bernama Babay atau orang bernama Mongkur. Semua mulut menutur ulang cerita itu seakan-akan mereka sendiri yang mengalaminya. Dengan begitu, hingga kini cerita itu masih dikisahkan oleh generasi yang berada di kampung-kampung di sekitar situ. Apalagi setelah pohon puti yang tinggi roboh ke air di teluk itu, karena tebing sungai yang curam longsor, orang-orang merasa lebih ngeri lagi, terutama karena salah seorang warga menemukan ular raksasa sebesar pohon kelapa yang pernah memangsa manusia di teluk itu --dan saat itu sedang kekenyangan menelan seekor rusa-- mati terimpit pohon puti yang roboh. Puncak dari segala kejadian itu adalah jatuhnya Jalikng dari dahan beringin yang melayah ke arah teluk. Lelaki itu memerangkap burung punai yang memakan buah beringin yang sudah matang dengan getah pulut di subuh hari.
Entah angin kencang atau kakinya tergelincir, Jalikng tercebur ke tengah teluk, dan di bawahnya ternyata telah menanti nganga mulut buaya yang lapar.

Hanya pawang Molur yang dapat menyeret buaya nahas yang memangsa Jalikng. Beberapa bagian tubuh lelaki beristri tiga itu ditemukan di dalam perut buaya.

Sejak itu, warga terus-menerus menganggap kawasan itu angker. Namun ada juga orang yang memanfaatkan keangkeran itu, karena pada waktu-waktu tertentu ada buaya yang bertelur di banir-banir pohon dahuq. Secara diam-diam orang itu mengambil telur-telur buaya itu, dan bahkan ada orang yang memasang jerat buaya, dan secara diam-diam menjual kulit buaya yang mahal harganya itu ke Babah Lie Auw Chu di Muara Pahu.

Bagi yang mujur, di musim kemarau di pasir pantai di utara teluk itu kadang bersarang puluhan penyu dengan ratusan telur di setiap lubangnya. Tapi menurut cerita, puluhan tahun lalu orang berhenti membantai penyu dan buaya karena salah seorang yang suka diam-diam mengambil telur-telur dan menjerat buaya itu dimangsa buaya badas yang ganas.

Entah mengapa, lingkungan teluk itu selalu disertai cerita yang menyeramkan. Kalau bukan cerita tentang kematian atau duka cita, kisahnya selalu berujung pada tragedi kesedihan.

Lalu tentang empat pemuda yang mulai jatuh cinta? Kisahnya sederhana, bermula dari waktu vakansi. Empat pemuda yang menghabiskan waktu seselesai ujian akhir SMA, pergi berdagang ke kampung-kampung di udik Sungai Berasan. Entah memang sudah sampai waktunya untuk bertemu dengan kekasih masing-masing, entah memang hanya suatu kebetulan, saat keempat pemuda itu menghilir dengan berkayuh cepat di gelap bulan mati, tepat saat memintas di Bentas Babay itu, haluan perahu membentur tunggul yang mencuat di tengah sungai. Perahu yang sarat muatan hasil dagangan seperti padi, beras, ayam, dan lima ekor kambing segera oleng oleh kejutan arus dan ulak. Dengan tak terduga dari arah hulu meluncur sebuah ketinting dan segera menggepak perahu yang sudah oleng ke arah kiri. Baik perahu maupun ketinting sama-sama tenggelam bersama muatannya.

Tiga pemuda yang berdagang dalam masa vakansi tenggelam karena terbentur haluan ketinting. Tiga pemudi bersama motoris ketinting juga tenggelam di dalam ulak air yang deras di tengah teluk yang dalam. Hanya satu pemuda dan satu pemudi yang selamat, dan dari mereka itulah cerita ini ditulis kembali.

Tabrakan itu sebenarnya terjadi karena masing-masing mereka telah berjanji bertemu hari itu di Kampung Rinding, sehingga empat gadis harus kembali dari Kampung Sembuan di udik Sungai Nyuatan dan empat pemuda harus menghilir dengan cepat dari pehuluan Sungai Berasan.

Cinta memang mengatasi segala-galanya. Tapi merabencana kemudian mengambil seluruh rencana mereka yang telah tiada.

Peristiwa selalu tak terduga!

***

Empat puluh tahun lalu peristiwa tabrakan Bentas Babay itu terjadi. Kawasan di Dataran Ruratn yang berada di bagian atas teluk Bentas Babay itu telah berubah seperti disulap oleh teknologi ekologi. Hutannya bukan hutan terlantar karena ditinggalkan Mongkur setelah membunuh pembantu Babay, tapi telah berubah menjadi hutan tanaman industri pohon ulin alias kayu besi. Di arah bagian bantaran sungai berdiri mess para pekerja dan rumah mewah pemilik HTI di dalam kompleks yang elite.

"Kasihan tiga pasang kawan kita tak sempat mengecap cita-cita membangun kongsian HTI," si wanita berkata kepada lelaki yang ada di depannya. "Kalau tak ada nahas tunggul Bentas Babay ini mereka masih ada bersama kita."

"Tapi kita telah tebus cita-cita itu, Ningsih. Bukankah nama mereka juga diabadikan di dalam bagian-bagian hutan kayu besi ini?"

"Hanya nama, Syar. Mereka tidak menikmati langsung. Bukankah sejak kecil kita telah bersepakat akan maju secara bersama-sama?"

"Tapi peristiwa mengambil segala yang baik dari kita. Syukur masih ada pasangan kita yang hidup dari peristiwa teluk tunggul kayu Bentas Babay itu? Sehingga kita dapat melaksanakan amanat bersama?"

Lebih 20.000 hektare HTI kayu besi yang berusia lebih dari dua puluh lima tahun. Ribuan pohonnya ada yang sudah lebih besar dari badan orang dewasa. Pohon-pohon langka itu membuat pemiliknya sampai mendapat anugerah dari sejumlah institusi di luar negeri sebagai penyelamat lingkungan dengan menanam pohon langka. Kalau bukan HTI, mungkin pemiliknya mendapat anugerah Kalpataru.

Lelaki dan wanita yang berbicara itu merupakan pemilik HTI kayu besi. Mata mereka tiba-tiba dikejutkan oleh permainan akrobatik pesawat tempur di udara.

"Apakah ada perang di kawasan kita? Apa yang diperangi di sini?" si lelaki terus menatap televisi. "Bukankah hanya pemulihan keamanan dari GAM di Aceh. Adakah yang direbut lainnya dari kita?"

"Itukah Sukhoi yang diributkan?"

"Bukan. Bukan Sukhoi. Bukankah Sukhoi sudah diterima beberapa waktu lalu?"

"Apa pesawat yang akan membomi Irak lagi?"

"Tak mungkin membom Irak. Bukankah perang frontal sudah usai. Lagi, tak mungkin persiapan pesawat tempurnya hanya empat?"

Mata mereka melihat ada pesawat lainnya yang seperti menguntit formasi empat pesawat udara yang mengadakan akrobatik udara. Lama kemudian baru mereka mendengar penjelasan bahwa ada pesawat tempur Amerika melakukan aksi selama dua jam di udara di atas Pulau Bawean. Pesawat F18 milik Amerika yang mengawal kapal-kapal negeri adidaya itu melewati perairan Indonesia. Pihak Angkatan Udara Indonesia menangkap manuver terlalu lama dari izin perlintasan dan kemudian mengirim F16. Hampir saja terjadi sesuatu yang tak diingini, karena pesawat yang mengintai hampir ditembak oleh mereka yang memintas.

"Terlalu banyak peristiwa akhir-akhir ini," si lelaki menatap istrinya yang duduk tenang menatap televisi. "Bahkan perusahaan HTI kita ini juga diungkit-ungkit para provokator."

"Katamu ada yang malah mengancam," istrinya menimpali. "Ingin membakar dan memusnahkan kalau tuntutan ganti rugi lahan tak dilakukan."

"Reformasi memang maksudnya keterbukaan. Lebih dua puluh lima tahun semuanya sudah dibereskan," sang suami menatap istrinya. "Tapi kebablasan, sekarang sering membuat kesusahan dan kerugian!"

"Katamu anak cucu pemilik tanah yang menuntut. Terutama mereka yang sudah kematian ayah atau kakek moyang. Mereka katakan belum menerima penggantian."

"Buktinya ada," sang suami masih menatap televisi. "Mungkin mereka yang menuntut itu belum lahir saat dilakukan pembayaran. Tak mungkin kita membayar berkali-kali."

"Kadang kertas dan kata-kata di atasnya tak mempan dalam era orang berebut kekuasaan seperti sekarang ini," sang istri yang berkata. "Hukum sudah begitu rendahnya terinjak-injak!"

"Karena orang maling ayam lebih dihargai hukum dibandingkan koruptor triliunan."

"Karena pemaling ayam orang miskin, koruptor menggunakan kekuatan uang."

"Itu masalah moral," sang suami menatap awan. "Rendahnya derajat kemanusiaan membawa dampak buruk di seluruh sendi kehidupan!"

"Seharusnya uang dicari tapi tak menguasai tubuh dan jiwa. Uang dikuasai!"

"Seharusnya begitu."

Serentak suami istri itu memandang ke arah langit. Ada titik dan deruan menandakan bunyi di bentangan cakrawala.

"Adakah itu pesawat pemerintah kabupaten pemekaran yang baru dibeli dibawa ke Lapangan Terbang Melalan?" sang suami menunjuk ke arah noktah. "Masyarakat mulai akan menikmati kemudahan."

"Paling-paling yang menggunakan para pejabat, pimpinan partai politik, dan kaum berada. Siapa rakyat jelata mampu membeli tiket sejuta pergi pulang ke Balikpapan?"

"Tapi sudah bagus ada ide dan realisasi pesawat pemutus isolasi," sang sumi menimpali. "Daripada selama ini naik kapal air dan memintas jalan berlumpur sedalam pinggang!"

"Nenek-moyang dulu-dulunya bisa hidup layak. Mengapa harus dipersoalkan?"

"Lain zamannya, Bu."

"Tapi lihat di berbagai kampung. Rumah kumuh beratap daun masih merajalela. Di pehuluan beras seharga lima ribu. Puluhan tahun merdeka tapi mengapa belum juga merdeka?"

"Pesawat itu tanda merdeka."

"Pesawat barang mewah. Lalu mengapa kebutuhan sehari-hari harganya seperti barang mewah?"

"Kalau penghasilan tinggi, tak ada harga barang yang tinggi."

"Nyatanya penghasilan masyarakat sangat rendah. Bukankah kau sendiri ikuti upah minimum daerah Rp 572.562,00 per bulan? Cukupkah untuk membiayai keluarga beranak tiga?"

"Perusahaan kita bukan lembaga sosial."

Tiba-tiba telinga suami istri itu dikejutkan oleh suara gelegar dan ledakan yang hebat ke arah tengah onderneming kayu besi. Tak lama kemudian mata mereka menangkap asap yang tebal naik ke atas.

Beberapa orang yang ada di base camp itu terdengar berteriak. "Pesawat pemda yang baru dibeli jatuh di hutan kayu besi. Pesawat yang baru dibeli jatuh terbakar di hutan ulin HTI kita."

Lelaki dan wanita itu berdiri terperanjat. Mata mereka nyalang memandang asap api dari hutan kekayaan. Tak lama kemudian terdengar deru motor dan mobil dan gegas penjaga hutan di bagian utara. Mereka segera melapor bahwa ada pesawat jatuh dan hutan HTI terbakar.

Lidah api disertai asap tebal makin meluas karena angin makin santer. Lelaki pemilik onderneming itu merasa kepalanya berdenyut hebat. Bukankah para operator alat-alat berat dan regu pemadam kebakaran sedang cuti? Sejumlah mereka pulang ke Jawa dan Sumatera!

Masih dalam terpana, lelaki pemilik HTI, api terus menyebar dengan cepat karena tiga bulan terakhir tak setetes pun hujan turun dari langit. Ke mana menyewa pesawat untuk memadamkan api? Siapa bisa mengoperasikan alat-alat berat guna melokalisasi api? Sementara api terus mengojah langit!

"Enam teman kita mati. Usaha kita gagal, Pa," si wanita terdengar bersuara memelas. "Mengapa pemda harus beli pesawat rongsokan sehingga jatuh dan mencelakakan usaha HTI kita. Ke mana Papa mencari dana menutup kerugian dari kebangkrutan? Bibit kayu gaharu yang disemai di utara juga dilalap api?"

Di base camp orang ribut berlarian berusaha menyelamatkan diri karena lidah api dari hutan kayu besi makin mendekat menjadi-jadi.

"Lari! Kalau tak mau mati, lari cepat ke sungai. Lari ke kampung selamatkan diri! Ayo! Lari cepat!"

Api makin mendekat ke arah base camp dan hampir menjilat rumah mewah milik pengusaha HTI di lingkungan base camp.

Suara itu seperti litani bersahut-sahutan makin keras. "Cepat kita ngungsi! Tinggalkan kawasan Bentas Babay. Cepat kita selamatkan diri! Ayo! Lekas kalau tak mau mati dilalap api!"

Lelaki pemilik HTI tampak bengong menatap asap hitam dan lidah api yang menjolok langit. Dari mulutnya terdengar suara seperti geraman. "Kejayaan dan kemaslahatan tiba-tiba mengubah nasib menjadi kere gombal. Mengapa pemkab harus membeli pesawat bekas yang mencelakakan?"

Sebagian besar lahan HTI telah dilalap api. Cahaya merah menyebar ke segala arah! "Masyarakat dan provokator dapat diredam dari kebablasan reformasi. Tapi mengapa justru pesawat yang membakar HTI?!" suara lelaki itu terdengar lemah sambil matanya terus menatap hutan yang musnah! "Mengapa harus membeli pesawat yang tak diproduksi lagi. Dari Kanada pula, bukannya membeli milik sendiri dari PT Dirgantara Indonesia?" suaranya bagaikan menolog yang sumbang.

Deru api makin menjadi-jadi! ***



Kamis, 22 Juli 2010

the poetry

RYAN didn’t lose his mind to make a fun of his uncle. He no longer put his urine to his uncle cup, otherwise he put chicken shit, took from the backyard, to the cup. * * * WHILE Bahasa Indonesia on progress, the teacher seemed too lazy to teach the lesson. So he ordered his pupil to make a poem to kill the time, then he left the classroom. There was nothing on Ryan’s mind, meanwhile his other pals starting to do their duty with all they’ve got. Suddenly he remembered on the event that happened last afternoon, or more precisely to every afternoon he passed along with his uncle. Then he started to write about it. 30 minutes already passed away, the teacher came to check his pupil poems. Then he ordered his pupil to read short story while he check on his pupil poems on his desk. Several minutes later he called Ryan to face him to his desk. And Ryan obeyed the teacher’s order. “Did you make this poem?”The teacher asked. “Yes sir.”He answered. “Why did you write a poem like this one?”The teacher asked once again “So what kind of poem I should write to?”Ryan replied by asking his teacher. “This poem,,, You know,,, too porn!”Whispered the teacher to Ryan. “But that based on my daily activities, Sir. That’s not porn!”Explained Ryan to the teacher. The teacher who is so charming thought for a while then he ask Ryan to meet him furthermore to his desk in Teacher office at the break time. And Ryan agreed to. So he back to his chair, while his teacher staring to his hips and the way he walking from behind, to continue the lesson. * * * IF he too tired after the whole day working for that family, he would relax on his old and smell bed while he wrote in his diary. He would write anything he done. He didn’t write everyday because his busywork on being a student and a page for that family make him too tired too describe the ambiance of his heart at that very moment. That night he thought hard. He reminded the event he passed along with his teacher, something he didn’t want to remember. But that moment opened his eyes to think for his future. Suddenly he felt tired and weak. But more than that he felt worry, concern, but the most he felt mad. He wanted to blow up all his anger but he didn’t have any know how. Sometimes his mind filled with ideas of making a fun for all the members of his family in that house with the nastiest way you never thought before. He thought his uncle, aunty and his cousins who bad to him for long time since he moved in to that house should take his revenge. Revenge always sweet. Sometimes he pissed into his the basket of washed clothes when his aunty asked him to wash. He also ever put pepper in his aunt’s powder box, mixed cat shit into the steam rice that made for his 5-years-old-cousin. He also ever put in his very own shit into his 11-years-old-cousin’s shoes. Or he ever put a dead mouse into the drawer of Miss Ririn, his Uncle’s sister, so all the clothes smell stinky. But nobody knew about it, he of course do all of that very carefully. Although he still had to get bad treats from the wife of his uncle that he called aunty. Aunty told him to do many errand jobs such as baby sitting, cleaning the house, and so on. Beside that he often be abused verbally and sometimes physically by his aunty and Miss Ririn. For him, those 2 women are already being devils in that house. But there was something more painful than all of that. He had to experience very bad treat from his own uncle. He was raped every any chances. That shoes factory labor forced his own nephew to fulfill his lust. He didn’t know why his uncle could do something bad like that to him. Especially when he knew his gender. Why his uncle had to have a sex with the same gender. Why the man who asked him to moved in after he graduated from junior high and paid for his school use his ass to fuck. He couldn’t resist because he felt pressed and threatened. He just felt have to pay for his uncle’s kindness. Once before dead his mother advise him to be a smart and virtuous boy. * * * AFTER read that poem in that class, the teacher fell something unspeakable in his thought. That afternoon he called Ryan to meet him in teacher office then he asked Ryan to come along with him to his house to get the punishment. Ryan regretted nothing for making that poem. He faced what he had to. He agreed to follow his teacher to his teacher’s house. He entered into a medium-size-rent-house. He was served by his teacher a while after he sat on a smell-filthy-couch. Pictures, which were placed on the rack, was had seen by Ryan. From what he saw, he can conclude that his teacher still single, but he already predict about that. His teacher behavior even made him so sure that grown-up-man not look like what he thought before. And he keep served well and got a good treat from his teacher. In that living room, he sat next to his teacher felt uncomfortable because then his teacher’s hand start to touch hi left hip. He bit his own lips. He knew what his teacher up to. Without any ordered he start to take the action first. He kissed his teacher with French kiss style. Then the teacher lifted him to the bedroom. There, he did what he usually done with his uncle. * * * THAT night he couldn’t sleep at all. He reminded to his teacher. Suddenly he missed for that French kiss, that cuddle, that blowjob, that shake, that bang, that touch. He bit his own lips once more while reading again his poem on his bed. Kelamin Paman bersetubuh dengan paman menjelma kucing bersayap bidadari mendekap manja sayang sayangan pada hari dimana mereka belum pulang melumat daging kejantanannya dipaksa berbuat pada lelap tidur paman suara mengadsuh kudengar riang berderai-derai luka bacokan pada kampak yang menghunus tajam rampas kelaminnya di waktu senggang Then he was starting to smile. He felt there nothing wrong with his poem.
Tersiksa Seribu harapan berganti
Muram merenggut menjemput hariku
Oh kasih, merenggut cintaku
Ya sempat tumbuh di hati
Bersemi mekar menghiaskan kalbuku
Sirnalah sudah
Kemana harus kucaribahagia cintaku
Yang terenggut pergi dariku
Mengapa tiada kata terakhir
Kau ucapkan
Tak taukah kau betapa ku tersiksa
ku telah mengucap janji
Tuk membahagiakan diriku kasih
Ingat kah kau
Solilokui Bunga Kemboja

dengan 27 komentar
20 suara

Quantcast

Diriku sekuntum bunga Kemboja. Kelopak-kelopakku merah kesumba sewarna gincu wanita yang kerap memandikanku sekali seminggu.

Wujud rupaku menyerupai genta. Walaupun kami lebih identik sebagai bunga kuburan, tetapi oleh wanita yang memeliharaku, aku tumbuh di dalam sebuah pot cantik di teras depan rumahnya. Dari tempatku berada, aku biasa menatap bentangan langit malam yang berhamburan bebintangan.

Benda-benda angkasa yang terang benderang itu selalu mengingatkanku pada seseorang. Seseorang yang benarlah nyata, tetapi lebih tampak seperti fatamorgana. Aku selalu memandanginya tatkala ia sedang memandikan mobil kesayangannya dari dalam garasi.

Lelaki itu adalah anak sulung wanita yang warna gincunya sewarna diriku. Sempat kedengkian menghinggapiku melihat betapa kedekatan kedua manusia berbeda kodrat itu, sampai kudengar si lelaki menyapa wanita bergincu kesumba itu dengan panggilan ibu.

Dari wajah dan rekah senyumnya tahulah aku betapa kebaikan hatinya seperti kebanyakan manusia penghuni rumah ini. Dari caranya memperlakukan mobil kesayangannya, tahulah aku betapa ia tak pernah pilih kasih terhadap benda mati ataupun benda hidup.

Sampai detik ini aku masih memendam rasa cemburu terhadap benda mati bernama mobil itu. Setiap hari kulihat lelaki itu menumpanginya manakala hendak menuju suatu tempat yang tak pernah kuketahui juntrungannya.

Tiap kali ia kembali hari telah merangkak malam. Raut wajah dan bahasa tubuhnya memberitahuku bahwa ia kelelahan. Tetapi keesokan pagi ia akan mengulangi kebiasaan yang sama, sampai lantas kuhafal luar kepala pola kegiatannya meskipun sebatas teras dan garasi itu saja.

Sesekali kulihat ia pulang dengan mengajak beberapa orang lelaki seusia dirinya. Tak jarang terdapat satu atau dua orang perempuan di antara mereka. Percakapan yang diiringi tawa berlangsung tatkala mereka melintasi teras depan sebelum mencapai ruang tamu.

Betapa beruntung menjadi manusia lelaki dan perempuan yang dekat dengan lelaki itu, walaupun bagiku tetap tiada yang lebih beruntung daripada mobil yang selalu ia tumpangi. Tak jarang mereka berkumpul di kursi teras sembari bercakap ditemani penganan dan secangkir teh.

”Coba lihat. Kembang Kemboja itu seperti sedang menatap kita.” kata perempuan yang telunjuknya menunding ke arahku. Lantas seorang lelaki bertubuh ceking berjalan melintasi teras sambil menggenggam spidol di satu tangannya.

”Kamu mau apa?” tanya si lelaki, menyela langkah temannya.

”Aku mau bikin mata pada kedua kelopak Kemboja itu supaya kelihatan kalau dia benar-benar menatap kita.”

“Hey, itu Kemboja kesayangan Ibuku.”

Itulah hari pertama ia membelaku di depan teman-temannya. Kelopak-kelopakku mekar dan warnaku kian merona. Tetapi selain hari itu, lelaki itu tak pernah memperhatikan diriku secara khusus. Keindahanku hanya berlaku di depan mata para wanita sebab mereka lebih dapat menghargai keindahan. Bagi lelaki itu dan teman-temannya, aku tiada berbeda dari pot tempat tubuhku bertumbuh. Rasa kecewa yang hinggap dalam diriku semakin besar tiap kali lelaki itu lewat tanpa pernah sempatkan melirikku barang sekejap.

Betapa keindahan ini seperti tak berarti tanpa dihargai oleh lelaki yang kucintai. Atas kesadaran itu, suatu hari aku berhenti membuat diriku mekar, tak peduli berapa kali dalam seminggu wanita bergincu itu memandikanku dan memberiku pupuk untuk meningkatkan kualitas tanah di dalam potku, usahanya tetap tak bisa membantu. Aku telah kehilangan minat terhadap kehidupan.

Masa itu berlangsung berminggu-minggu lamanya. Rona pada kelopak-kelopak bungaku pudar. Wanita itu kini tak bergincu lagi. Wajahnya tampak selisut diriku yang tak mau mekar barang serecup saja. Seluruh bunga Kemboja di teras rumahnya turut merasakan dukaku. Mereka lantas putuskan tak mau mekar selama dukaku belum teratasi. Raut wajah sebam dan sepasang mata tanpa binar cahaya menatap iba kepada kami.

Belakangan lelaki itu pun tampak bermuram durja. Tiap kali melintasi teras menuju garasi ia tak lagi memutar-mutar seronce anak kunci di ujung telunjuknya sambil bersiulan. Jangan-jangan sesuatu terjadi pada mobil kesayangannya. Tetapi kepada seorang teman kudengar ia memberi tahu bahwa kesedihannya disebabkan oleh sikap murung ibunya.

Wanita yang telah malang melintang di dunia botani itu mendandak merasa dirinya tak becus mengurusi tetumbuhan di teras depan rumahnya sehingga nyaris seluruh Kemboja kesayangannya mati. Daun-daun meluruh nyaris tanpa bersisa, kelopak-kelopak bunga mengatup seperti gadis-gadis remaja yang merajuk.

Sumber terdalam kesedihan lelaki itu adalah keputusan sang ibu untuk menyerah dari hobinya bercocok tanam, hal mana yang menjadi satu-satunya hiburan di masa menjelang pensiun. Melihat kenyataan itu, yakinlah aku bahwa si lelaki lebih menyayangi sang ibu daripada benda mati yang ia mandikan setiap pagi, walaupun tampak ia lebih besar menaruh perhatian padanya. Tetapi ia tetaplah lebih mencintai perempuan yang mencintai diriku dan bunga-bunga Kemboja yang lain, bagaikan kami ini anak-anaknya sendiri.

Pagi hari adalah waktu terbaik bagi setiap bunga. Titik-titik embun menyaput sekujur kelopak yang baru separuh merecup. Kami lebur bersama gigil pagi. Tetapi pagi itu aku merekah mendahului yang lainnya. Kelopak-kelopakku bahkan mekar lebih lebar daripada biasanya. Dengan tak sabaran aku menantikan pintu depan di ujung teras itu dibuka untuk pertama kali.

Pada setiap pagi yang telah kulalui di teras rumah ini, wanita berginculah yang selalu membuka pintu depan untuk pertama kali bersama alat penyiram tanaman di tangannya, dengan bekal semangat berniat memberi kami makan. Minggu-minggu terakhir betapa pemandangan itu tak pernah tampak lagi, tetapi kujamin pagi ini keputusanku menjadi mekar kembali dapat mengembalikan semangat yang sempat redup wanita bergincu itu.

Matahari sudah setengah perjalanan melakukan patrol. Sinarnya menyapuh tiap lembar daun dan kelopak bunga kami. Siang hari menjelang. Aku gelisah menunggu pintu itu dibuka oleh si wanita bergincu. Akhirnya daun pintu terbuka, tetapi yang tampak olehku pertama kali adalah dia, lelaki itu! Kaus oblong yang membalut tubuhnya nyaris sewarna kelopak-kelopak bungaku. Ia berjalan gontai. Aku terus mengawasi wajah tampan lelaki itu. Sesuatu dalam diriku berdebar keras, sehingga menyebabkan kelopak-kelopakku bergoyang.

Tak kuduga gerakanku memancing lelaki itu menoleh. Matanya melebar pada detik pertama ia menatapku. Kutunggu lelaki itu menghampiriku, tetapi tubuh itu berbalik menuju pintu, berlari sepanjang ruangan. Kurang dari satu menit kemudian, lelaki itu muncul lagi bersama wanita bergincu yang masih belum lagi bergincu. Mata wanita itu melebar sambil mulutnya menganga. Perlahan ia melangkah menghampiri pot-pot berisi Kemboja sepanjang tepian teras, menyapuhkan tangannya di atas kelopak-kelopak kami secara bergantian.

”Bunga-bunga itu tak ingin berlama-lama melihat kesedihan ibu.” Lelaki itu berkata. Sebutir air susul menetes jatuh dari sudut mata wanita itu. Keterkejutan di wajahnya berubah haru atau apa pun itu yang sukar kujelaskan. Pelan bahunya lantas bergetar sebelum isak tangis menguasainya. Lelaki itu mendekap tubuh ibunya, merapatkan kepala pada bidang dadanya.

”Mungkin ini karena pupuk yang ibu beri waktu itu.” kata wanita itu.

”Mungkin karena ibu tak pernah berhenti mencintai mereka,” lelaki itu lebih yakin dengan pendapatnya. Mungkin baginya, kebahagiaan sang ibu membawa dua kali lipat kebahagiaan bagi dirinya, tetapi bagiku, betapa kebahagiaannya membawa berlipat-lipat kebahagiaan bagi diriku.

Aku mulai dapat memaknai diriku lebih dari sewujud bentuk yang menyerupai genta dan merah kesumba kelopak-kelopakku. Keindahan barulah bermakna ketika ia dapat bermanfaat bagi makhluk lain tak terkecuali manusia, terutama bagi wanita bergincu yang betapa kesedihannya adalah beban bagi anak laki-laki sulungnya.

Wanita bergincu itu kembali memoles bibirnya dengan gincu merah kesumba sewarna kelopak-kelopakku. Duka si lelaki kini lesap bersama duka sang ibu. Mulailah pola kegiatannya berjalan seperti biasa dengan semangat yang tak biasa.

Malam hari mobil kesayangannya memasuki garasi. Sesuatu dalam diriku berdebar keras menunggu sosok lelaki itu terlihat. Pintu kemudi terbuka, menyusul dirinya berjalan keluar mengitar mobil. Di luar kebiasaan ia membuka pintu di samping jok penumpang. Tampaklah seorang wanita berambut panjang ikal mayang, berdiri di sampingnya.

Kulihat wajah si lelaki sumringah tatkala menuntun perempuan itu berjalan melintasi teras. Tangan keduanya saling menggenggam. Di tengah teras mereka berhenti. Perempuan itu menunduk sambil menggigit bibir. Tangannya meremas tangan lelaki yang menggenggamnya. Kudengar ia mengeluh cemas.

”Tidak apa-apa, tidak apa-apa,” Lelaki itu berusaha menenangkan. Sehembus angin menyebabkan desir dedaunan yang saling menggesek. Dua helai daunku melayang jatuh, disambut lembab tanah. Tetes-tetes getah berjatuhan dari ujung lengan tempat pangkal daunku barusan jatuh. Sebelum malam ini angin sekencang apa pun tak dapat menyebabkan daun-daunku luruh. Melihat keadaannya sekarang, aku ragu bahwa anginlah benar penyebabnya. Siapakah yang patut kusalahkan di antara si lelaki dan perempuan berambut panjang ikal mayang? Barangkali takdirku sendiri karena tercipta hanya sebagai sekuntum bunga Kemboja.

Lelaki itu berjalan menujuku. Perempuan berambut panjang ikal mayang itu tetap terpaku di tengah teras, memperhatikan gelagat si lelaki. Tangan lelaki itu terangkat menuju sepal tempat melekatnya kelopak-kelopakku. Detik pertama ia menyentuhku, ia membawa serta seluruh kesadaranku dari lengan cabang tempat aku tertancap seorang diri. Betapapun, aku hanyalah sekuntum bunga Kemboja. Hidupku berakhir di ujung jemari lelaki yang kuncintai, yang dengan wajah direkah senyuman membawaku kepada perempuan berambut panjang ikal mayang yang tengah cemas menantinya di tengah teras.

Diselipkannya diriku di ujung pangkal telinga sang kekasih. Dari sana aku dapat menatap wajahnya lebih jelas dari yang sudah-sudah. Ia tersenyum menatap diriku di ujung pangkal telinga kekasihnya, bening matanya memantulkan seraut wajah perempuan yang balas tersenyum.

Aku sekarat. Perempuan itu luput merasakan getahku yang bertetesan di antara helai-helai rambutnya.

”Kamu tidak apa-apa sekarang?” lelaki itu bertanya.

Perempuan itu mengangguk pelan. Mereka lantas berjalan menuju pintu masih dengan kedua tangan saling menggenggam. Di ambang pintu lelaki itu memindahkan diriku dari celah di antara kuping kekasihnya ke dalam kantong depan kemejanya. Dari sana, aku dapat mendengar detak jantungnya yang bagaikan menghitung detik-detik kematianku.

”Jangan sampai dilihat ibu bunga Kembojanya dipetik,” samar-samar suaranya terdengar. Getahku berhenti menetes. Walaupun aku masih memendam perasaanku terhadap dirinya, kini yang terpenting adalah memberikan kepada orang yang kucintai sesuatu hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya. Seandainya aku tercipta sebagai seorang manusia tentulah aku dapat belajar lebih banyak tentang cinta daripada yang dapat terpahami oleh sekuntum bunga Kemboja.
Redi Kelud
dengan 36 komentar
5 suara


Aku lahir di tengah keluarga yang berbeda. Bapakku tunawicara, ibuku suwung kalau kambuh jadi begitu menakutkan. Marno, kakak pertama, suka berendam seharian. Kalau dilarang berendam, paling tidak ia mandi empat kali sehari, pukul 8, 11, 2, dan 4.
Kakak kedua, Basoko, kepalanya selalu meleng ke kiri, tak mau memandang jika diajak bicara. Ia hanya mau bersitatap denganku bila aku menanyakan sedang apa ia dengan bulpennya itu. Ia senang mencoret-coret bukunya mirip gambar, mirip angka, mirip tulisan, atau tak mirip apa pun.
Kakak ketiga, Astrid, masih mengompol walau umurnya 17 tahun, dan tak hanya itu matanya selalu lapar setiap melihat lelaki muda. Jika ada lelaki bertamu, ia segera bergegas menyambut. Bersalaman dengan mata genit dan bibir mengembang lalu menggelayut manja.
Kakak terakhir, Raka, bagai Gunung Berapi. Ia pendiam tapi jangan salah sangka, ketika sedang marah, dunia jadi kiamat! Semua barang dilempar, digulingkan, dipecahkan, ditumpahkan. Lantai dicakar-cakar, mengamuk. Lalu bapak dan aku dibantu tetangga segera menangkap kedua tangan dan kakinya untuk menenangkan. Butuh paling tidak empat orang dan waktu yang lama untuk sampai dia tenang kembali.
Namaku Redi. Kata ibu, ketika aku lahir terdengar ledakan gunung meletus lalu turun dengan derasnya hujan abu. Segala daun dan pohon, tegalan, rumah, kali, semuanya kelabu. Karena itu aku diberi nama Redi Kelud, Gunung Kelud, artinya. Nama yang tak lazim sebab umumnya bayi perempuan diberi nama yang indah seperti: Dewi, Astrid, atau Seruni, begitulah kira-kira. Namun aku tak berkecil hati, dengan nama itu aku merasa kuat. Kuat seperti gunung.
Suatu saat ada tamu datang menawarkan pengasuhan pada kami. Kami semua? Tentu tidak, kata Si Mas tamu. Katanya, anggaran lembaga sangat terbatas jadi baru satu yang bisa ditampung. Baru satu, nanti yang lain bisa menyusul? Ya, nanti kita lihat situasi keuangan dulu. Kita lihat situasi, bukankah itu tidak pasti. Sahutku sebagai juru bicara keluarga ini. Walau aku terkecil, aku yang selalu maju berhadapan dengan tamu karena yang lain pasti tak nyambung, diam mematung, ngompol, marah, atau ketakutan di kamar mandi, berendam.
Si Mas tamu diam, namun kulihat sorot matanya berubah.
”Jangan kau berpikir buruk dan jahat!” tegasku.
Dia kaget, ”Apakah kau bisa membaca pikiranku?”
”Tentu tidak! Aku cuma ingin berkata itu saja!”
”Tapi kenapa kau bisa mengatakan hal itu?”
”Aku tak tahu, yang kutahu tatapan mata Mas tiba-tiba seperti silet.”
”Kau anak yang cerdas sekaligus mendapat anugerah luar biasa.”
”Apa maksudmu dengan berkata demikian!”
”Aku tak bermaksud yang bukan-bukan. Aku merasa tentulah karena kecerdasan dan kebaikan hatimu, kau bisa menentukan mana yang terbaik bagi keluargamu. Kau bisa memilih salah satu keluargamu yang kau titipkan untuk kami rawat dan sembuhkan.”
”Kami tak perlu bantuan dan kami tidak sakit, toh selama ini, kami berkecukupan. Bapak bekerja di ladang. Ibu beternak. Aku menjual hasilnya ke pasar.”
”Bukan begitu. Memang semuanya baik-baik saja. Tapi bagaimana dengan kakak-kakakmu? Bukankah sejak dulu hingga sekarang mereka hidup begitu-begitu saja.”
”Kau datang seolah-olah paling tahu yang baik buat kami! Aku tak mengerti pikiranmu, yang aku tahu kami senang karena kami bersama.”
”Bagaimana kau bisa berkata seperti itu? Kau baru berumur 10 tahun.”
”Aku suka membaca,” jawab Redi sekenanya.
”Apa yang kau baca?”
”Hanya koran-koran lusuh, itu pun bau pesing Kakak Astrid dan isinya hanyalah kabar kejahatan. Sungguh menyebalkan!”
”Lalu dari mana kau bisa berkata demikian?”
”Aku keceplosan.” Redi mengangkat bahu. Si Mas itu tak tahu bahwa Redi memiliki sayap di kedua bahunya. Siapa pun tak ada yang tahu kecuali keluarganya. Awalnya seperti daging kecil di bahu, lama kelamaan seiring tubuh Redi yang membesar daging itu juga tumbuh, dan sekarang mirip sayap walau hanya sepanjang telapak tangan Redi. Sayap itu selalu tertutupi baju. Kalaupun ada orang lain yang tahu, tak bakal mengira bahwa itu sayap. Orang pasti berpikir, Redi cacat karena keluarganya juga cacat. Mungkin dikira punya empat tangan. Tapi yang jelas berkat sayap itu Redi jadi cerdas.
”Apakah itu artinya kau menolak tawaran kami?”
”Ya, tentu saja. Tidak ada alasan kami menerimanya, kan? Kecuali, jika kami semua kalian tampung, itu masuk akal.”
”Tapi kami tak ada anggaran untuk itu. Kami juga harus menampung orang lain.”
”O, ya aku mengerti.”
Lalu Si Mas itu pamit dengan kepala yang berat.
***
Redi berlari ke lorong terang ketika semua tengah tertidur. Si Mas tamu meninggalkan tujuh nasi bungkus dan kekenyangan membuat semua keluarganya pulas. Ia duduk di bongkahan batu hitam lalu melepaskan bajunya. Mengelus dua sayap di bahunya yang berwarna abu-abu, mirip abu Kelud yang meletus 10 tahun lalu.
Kedua sayap itu ia gorok dengan belati kecil.
”Aku tak suka ini. Aku tak mau ada sayap di tubuhku. Aku bukan burung!”
”Jangan kau lakukan itu, teman.” Muncul seorang lelaki cebol berkuping panjang dan bentuk mulutnya tegak vertikal. Matanya juling, dengan alis tebal yang terangkat.
”Kenapa? Bukankah ini milikku, aku bisa melakukan apa pun pada milikku.”
”Tentu kau punya hak. Tapi untuk apa?”
”Sudah aku bilang, aku manusia, bukan burung!” Segera ia potong dua sayapnya itu dengan belati. Darah merembes dari bahunya. Menetes, menetes lagi tak berhenti-henti, mengalir, terus mengalir hingga meluber di lantai.
”Kau hanya mengotori lantaiku saja!”
”Nanti aku bersihkan!”
”Kau memang selalu buat masalah! Lihat, celanaku jadi basah. Sumbat darah di bahumu itu. Pasang kembali dua sayapmu!”
”Jangan kau usik aku dengan serapahmu yang tak berguna itu. Biarkan aku meresapi apa yang sedang kurasakan. Aku sudah lama mengharapkan hal ini.” Redi memandang dua sayapnya yang telah hanyut bersama darah itu. ”Lihat, darahku mengalir keluar dari lorongmu ini. Jadi aku tak perlu membersihkan lantaimu!”
Tubuh Redi jadi tak biasa, rasanya demikian aneh. Kepalanya pening.
***
Orang-orang cemas. Hujan deras sejak kemarin mencapai batas ambang waduk. Hanya tinggal menghitung waktu banjir segera datang. Orang-orang berlarian menyelamatkan harta benda. Seorang tetangga bergegas ke rumah Redi.
”Cepat pergi, kota akan segera tenggelam. Waduk telah meluap.”
”Kami menunggu Redi. Bukankah kau tahu, ia sejak semalam tak pulang. Kau juga mestinya tahu bahwa kami selalu bersama-sama, kemana pun pergi dan tak pergi kami selalu bersama-sama. Pasti anak itu sedang mengunjungi temannya yang gila itu. Sejak dulu aku bilang, Si Cebol itu gila. Gila karena semua keluarganya mati dilempar ke Kali Brantas waktu huru-hara tahun 65 dulu. Si gila itu malah dianggapnya wali. Wali tengik! Tidak pernah di pesantren, tidak pernah naik haji. Tak mungkin bisa jadi wali,” terang ibu Redi.
”Ya sudah, kok jadi ngelantur. Yang penting aku sudah memperingatkan. Kami mau ke atas gunung.”
”Jangan ke Kelud!”
”Kenapa?”
”Berbahaya.”
”Aku tak percaya. Kau hanya berseloroh!”
Perempuan itu lalu menggerutu. Terlintas di pikirannya untuk pergi tapi bukankah selama ini mereka bisa bertahan dalam kebersamaan.
Tiba-tiba datang mobil Si Mas, ”Ayo cepat! Kami tinggal mengangkut kalian, semua telah mengungsi.”
Ibu Redi mengumpat-umpat tak karuan. Tangannya mengusir pergi lalu memaki-maki sekenanya. Berteriak-teriak, rambutnya ia jambak, lalu terduduk dengan kaki ia tendangkan pada apa saja. Ia mengamuk jika ada perang dalam pikirannya.
Tak lama kemudian Redi datang bersama Si Cebol. Darah masih menetes dari bahunya. Bau anyir seketika menusuk hidung namun serentak hilang karena tubuh Si Cebol tiba-tiba mengeluarkan bau harum. Wangi dan legi. Ratusan kupu-kupu dan lebah mulai mengitari Si Cebol.
”Kenapa kalian tak pergi?” tanya Si Cebol.
”Kami menunggumu, Redi.” Jawab ibu Redi yang mulai tenang.
”Biarkanlah aku di sini,” jawab Redi.
”Kalau kau di sini semua juga di sini. Tapi kenapa dengan bahumu?”
”Aku tak-apa-apa, Ibu.”
Tiba-tiba Si Ibu ketakutan. Redi baru tersadar bahwa ibunya bakal kumat jika melihat darah.
”Ibumu terjun mengejar jasad kakekmu di Kali Brantas itu, Redi. Ia berenang di air penuh darah itu….”
Redi terpaku.
”Redi, kau tenangkan dulu ibumu, aku melihat situasi dulu,” lanjut Si Cebol.
Si Cebol diam sebentar lalu tubuhnya terangkat perlahan-lahan. Kini ia berada jauh di atas Redi. Ratusan kupu-kupu dan lebah mengikuti. Dari matanya tampak banjir telah menenggelamkan desa di depan. Airnya berwarna merah. Ia sejenak mengamati itu, lalu turun.
”Redi, jernihkanlah pikiranmu. Kau tahu, banjir itu berwarna merah pasti dari darahmu yang terus menetes sejak tadi. Lihatlah ibumu, ia tak tahan melihat darahmu. Berdamailah, Redi. Terimalah kau seperti adanya. Sayap itu anugerah dari Tuhan. Kau adalah manusia seberapa pun kau berbedanya dengan orang-orang itu. Redi, kau tahu aku tak sanggup membendung banjir jika berwarna merah. Aku bisa kalap. Ingatan itu tak bisa kulupa….”
Untuk kali pertama, Redi melihat Si Cebol menitikkan air mata. Ibunya dilanda ketakutan. Ia tercenung, lalu mulutnya menyedot udara, seketika dua sayapnya tertarik lalu segera ia pasang. Darah tak lagi menetes, warna merah di kejauhan telah tergulung oleh coklatnya air bah dari waduk.
Si Cebol perlahan-lahan naik lalu jempolnya ia tiup. Tiba-tiba, perlahan namun pasti, jempol itu menggelembung, membesar. Tangannya memanjang dan menjadi raksasa. Lalu dengan cekatan ia membuat gorong-gorong ke utara, ke arah lereng Gunung Kelud. Sebenarnya ia tahu gunung itu telah gundul, dan itu artinya tak semua air bisa dibelokkan tapi memang tak ada pilihan lain.
Matanya tak jeli, para penduduk ada di sana….
***
Banjir telah redam dengan kematian ratusan jiwa. Orang-orang telah pergi seperti ribuan batang pohon-pohon hutan yang digotong ratusan truk.
Redi bersedih telah kehilangan semua tetangganya. Ia selalu teringat pada mereka yang telah berbuat baik pada keluarganya. Ia terbang ke lorong terang hendak mengaduh pada Si Cebol.
6 suara

6 suara

Kumpulan Cerpen Kompas
arsip cerita pendek kompas minggu
Janji Kaci
dengan 29 komentar
6 suara


Jemputlah aku di tikungan ketiga, Kaci. Pukul sebelas, malam Sabtu Pahing nanti.
Kalau kamu datang, tunggu aku di bawah pohon cemara. Aku sudah membuat janji untuk menginap di Gang Bakwan. Kamu ingat? Mak Kus, pemilik rumah yang baik hati itu akan menyiapkan segalanya. Tak perlu berlama-lama, kamu bisa pulang pada pagi kemudian. Setelah itu, kamu memiliki janjiku. Janji yang terakhir.
***
Kaci,
Sudah dua Sabtu Pahing aku menunggumu di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara. Menggigil dan sendirian. Tujuh batang rokok kuhabiskan sembari berharap sosokmu muncul dari balik belokan, tetapi pada batang ketujuh, aku tahu, kamu tak akan muncul. Sia-sia saja menunggu. Maka aku akan pulang dalam diam, dan tertidur lepas subuh di sofa merah ruang tamu. Sementara teman-temanku yang lain menari dalam kamar dengan mereka yang telah menambatkan tali di tubuhnya. Diam-diam, aku masih menunggumu. Kamu tak pernah datang. Ke bawah pohon cemara tempat kita biasa duduk di pelipiran jalan, atau ke ruang tamu pondokanku.
Surat itu kuselipkan di bawah pot bunga di samping wastafel Restoran Miraza lantai 1 yang tersembunyi. Di situ, janjimu, kita bertukar pesan. Atau sajak. Sebab katamu, kamu lebih suka membaca gurat tanganku yang rahasia, ketimbang membaca pesan pendekku di ponselmu yang sulit dirahasiakan. Atas nama rahasia pula, surat-suratmu kutitipkan pada sebuah kotak sepatu tua dan kusembunyikan rukut dalam lemari plastik. Tahukah kamu, kotak sepatu itu sudah hampir buncah, sebab kita bersurat tanpa jeda. Sampai kau berhenti muncul di restoran. Atau tepatnya, berhenti memeriksa pot bunga yang letaknya tersembunyi itu. Aku tahu, sesekali kamu masih datang ketika aku tak ada.
Ah, aku tahu, tak sepantasnya aku besar kepala, meskipun kamu bisa membawaku ke restoran yang jaraknya hanya 12 kilometer dari pondokanku itu. Kebanyakan laki-laki yang datang padaku hanya ingin lubang senang, bukan cinta. Tetapi aku telah telanjur memaknai rumah makan besar di lereng Pandaan itu sebagai tempat rendez-vous. Barangkali karena bagiku kamu berbeda dengan penambat yang lain. Sebab rasanya, bukan tubuhku yang ingin kau ikat. Ada yang lebih dari itu. Sebab itulah aku desak diriku untuk bertanya.
Tapi sejak itu kamu tak lagi muncul dan menjemputku dari sofa merah pondokanku. Apakah karena aku telah lancang bertanya? Apa perempuan seperti aku tidak punya hak untuk mencintai? Percakapan di senja layu itu berakhir dengan diam. Kamu ranggas dan mengeras, seperti batu. Lalu lenyap sama sekali. Mama Tien sudah bosan bertanya tentang kamu, sebab tak pernah kugubris. Akhir-akhir ini, ia bahkan bersikap judes padaku. Sebab aku sudah enggan berias. Meski dengan wajah natural pun orang-orang tetap menganggapku primadona Pesanggrahan.
Kaci,
Aku tahu kamu membaca suratku. Aku tahu kamu perlu waktu untuk berpikir. Tapi Sabtu depan adalah Sabtu Pahing terakhir yang bisa kuberikan. Aku tak bisa menunggu selamanya. Mama Tien mengancam akan memotong bagianku dua kali lipat lebih besar, kalau aku terus-terusan keluar ketika malam sedang ramai. Lagipula, ia mungkin takut aku akan lari. Aku bukan orang kaya, Kaci. Aku masih punya mimpi untuk membangun sebuah rumah batu di Jember sana. Berangan-angan bisa memensiunkan emak-bapakku dari ladang orang. Biarlah mereka hidup enak. Biar aku saja yang bekerja. Bukankah aku pernah bercerita?
Maka, Kaci, jemputlah aku di tikungan ketiga, di bawah pohon cemara. Setelah itu kita bisa pergi. Tidak ke rumah dengan sofa merah itu. Tidak juga ke kota, sebab aku tak berniat lari. Tapi ke sebuah kamar hangat di Gang Bakwan, yang sudah kupesan dan kubayar lunas. Sedikit orang mungkin hadir untuk mengesahkan perjanjian kita. Tapi selebihnya, kita sendirian. Seperti biasa. Kamu boleh memilikiku sepenuhnya.
***
Jumat legi terakhir. Semua sudah rapi kusiapkan. Entah kenapa aku bisa begitu yakin, kamu akan datang. Sebelum adzan Jumat selesai sikumandangkan, aku sudah terjaga, lebih awal dari biasa, dan buru-buru turun ke Gang Bakwan.
“Apa kamu yakin, dia pasti datang?” tanya Mak Kus setelah tawanya habis, ketika aku tergopoh-gopoh datang padanya untuk memastikan. Rencana ini memang kususun bersama Mak Kus. Hanya dengannya aku berani bercerita. Dulu, Mak Kus sama sepertiku, tak seperti Mama Tien yang judes dan pandai berhitung. Karena itu ia bisa memahamiku.
Aku mengangguk. Mak Kus barangkali menangkap kecemasan berkilat di wajahku.
“Sudah ada ojek yang njemput Pak Ma’ruf?” pertanyaan perempuan gemuk yang baik hati itu membuatku tercekat. Bukan karena aku alpa mengatur rencana. Tapi oleh angin dingin yang tiba-tiba menghantam tubuhku. Memerihkan jantung. Entah kenapa. Barangkali sebab kedatangan Pak Ma’ruflah yang akan mengesahkan perjanjian terakhirku denganmu.
“Sudah, Bu. Taryo nanti yang pergi. Aku akan bel dia kalau Kaci sudah datang.”
Jam dua belas lewat tengah hari. Setelah menyulut sebatang rokok yang tertinggal di meja, aku berpamitan.
“Salam untuk Sur, ya Bu. Masih tidur dia?”
Induk semang yang kukunjungi itu mengangguk. Aku beranjak dan melambai. Kurasakan wajahku merona, entah kenapa?
Aku berbelok ke barat, keluar gang, menyusur jalan raya, dan mendaki ke utara, melewati Hotel Inna. Hangan masih terus tertinggal di pipiku. Tetapi dingin menyusup dari hutan-hutan jauh. Kaci, semua sudah siap. Tinggal diriku sendiri yang mesti berkemas.
***
Pukul sebelas kurang lima belas. Susah payah, kujejalkan selembar gaun hitam seharga Rp 250.000,- yang kubeli dari Mama Tien ke dalam tasku. Menurutku, gaun yang harus kucicil dalam lima kali pembayaran itulah satu-satunya yang layak dijadikan pakaian pengantin. Aku lalu menyelinap lewat pintu belakang setelah berpamitan dan mencium pipi Mama Tien. Mukanya sedikit cemberut, karena sedari sore sudah tiga-empat orang yang datang untuk menemuiku dan kutolak halus-halus, tapi toh diizinkannya aku pergi, setelah kujanjikan akan membawa upeti esok pagi.
Pukul sebelas tepat, aku sudah duduk di sana, menunggumu di tempat yang dijanjikan. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku menggigil. Sambil menyulut sebatang rokok pertama, kubayangkan kamu dan perjanjian kita nanti. Kamu akan menjemputku dengan sedan 80-an yang aroma kabinnya kuingat betul. Setelah itu, kita mampir di toko Pak Sokeh untuk menjawil Taryo. Biasanya ia menunggu ojekan di sana. Aku akan memintanya menjemput Pak Ma’ruf di Kalisat. Perjalanan Prigen-Kalisat-Prigen dengan kecepatan sedang di malam hari makan waktu kurang lebih satu setengah jam. Sembari menunggu penghulu yang biasa menikahkan pasangan kawin siri itu dijemput, kita bisa duduk-duduk di depan Hotel Surya, menikmati jagung bakar dan seseruputan angsle panas, merokok dan mengobrol. Aku akan bertanya, ke mana saja kamu selama ini? Apa kamu enggak kangen sama aku? Dan kamu akan tersenyum tipis seraya meremas jariku. Itu adalah isyaratmu kalau sedang ingin menciumku.
Kusulut batang rokok ketigaku. Malam menjadi. Di jalan, mobil lalu lalang. Sesaat, aku seperti melihat mobilmu, tapi kalau toh benar kamu pasti berhenti dan menjemputku. Kuembus asap kuat-kuat ke udara. Kamu mungkin terlambat, tapi pasti datang. Sesuatu di perutku meloncat girang, seperti kupu yang menggeliat dari kepompongnya.
Pukul satu, kita akan berkumpul di Gang Bakwan, di dalam kamar hangat yang telah kupesan dan kubayar lunas. Aku dan kamu, Mak Kus, Pak Ma’ruf, dan Suryani. Aku akan menyalin bajuku dengan gaun yang kubawa, dan membaiki riasan yang luntur disapu angin malam. Sementara Mak Kus dan Suryani membawakan kerudung, peci, dan kitab suci. Gemetar, kuraba uang dalam amplop yang kusimpan baik di dalam tasku. Tujuh ratus ribu. Biaya perkawinan kita, lengkap dengan buku nikah yang nyaris tak beda dengan yang asli.
Ya, Kaci. Bukankah sudah kukatakan kepadamu, aku ingin menikah? Tak perlu takut kena penyakit kelamin, sebab aku disiplin dengan kondom, dan dua kali seminggu pergi suntik ke Puskesmas Pandaan. Aku juga tak akan banyak menuntut seperti lazimnya istri-istri yang lain. Toh kamu sendiri sudah punya istri. Hati kecilku tak pelak berharap kamu akan membawaku pergi dari rumah bersofa merah terang itu, untuk menetap di rumah kecil yang hanya terbuka untuk tamu baik-baik, tapi jika itu terlampau muluk-muluk, aku bisa tinggal di sini saja. tetap dengan mimpiku membangun rumah batu di Jember sana dan memensiunkan emak-bapakku dari ladang orang. Bagiku, menikah denganmu saja sudah cukup.
Cepatlah datang dan jemput aku, Kaci. Malam hampir berakhir. Aku tak sabar lagi.
***
Pukul dua. Mobil mengalir tak sederas tadi; kini mereka parkir di vila-vila. Kamu tetap saja tak ada. Mulutku asam dan berliur menahan lapar dan dingin. Di mana kamu? Aku tak seberapa peduli pada lapar, kita bisa makan bersama, nanti. Tapi kenapa kamu belum juga datang? Bulu kudukku berdiri. Angin menusuk. Di langit timur, kembang api mulai menyalak. Orang-orang berpesta. Malam ini malam Minggu extravaganza.
Aku belum ingin menyerah, Kaci. Tapi aku kedinginan tanpa kamu.
***
Dekat jam tiga pagi. Jalanan sepi, sudah terlampau larut. Kubuang gaun pengantinku jauh ke jurang, sebelum berjalan mendaki ke Gang Sono. Malam ini kuputuskan untuk pulang ke Gang Bakwan, ke kamar kosong yang sudah kupesan. Aku bisa main kartu sendirian di sana. Atau bersama Suryani, kalau dia tak sedang ada tamu. Kalau ada penambat yang kelihatan cukup berduit, barangkali aku akan berubah pikiran. Satu-dua lelaki saja cukup. Lumayan untuk menyaur upeti pada Mama Tien besok pagi. Sembari tersengal, kusulut rokok terakhirku.
Aku berbelok ke toko Pak Sokeh untuk membeli minuman dan rokok. Ada duit tujuh ratus ribu menganggur di dalam tasku. Malam ini aku bisa foya-foya. Di tikungan, sepasang manusia setengah teler keluar dari rumah biliar di sebelah toko. Berangkulan, berciuman. Aku merasa mengenal salah satu dari kedua orang itu, maka aku berhenti sejenak untuk memerhatikan mereka. Sepasang manusia itu masih tertawa-tawa.
”Darsih!” si perempuan memanggilku. Misye, pesolek Gang Sono yang terkenal pandai merayu. Aku melambai dan tersenyum tipis.
”Hei, ‘lemu’, Sye?” Ya. Tentu. Aku tahu benar, laki-laki itu cukup gemuk dompetnya, Misye. Bersenang-senanglah kamu malam ini. Misye tertawa genit sambil menggamit lengan si lelaki.
Lelaki berkemeja hitam yang masih memandangku dengan wajah putih.
Ya. Itu memang kamu, Kaci. Tapi aku tak lagi mengenalmu.
Kubuang puntung rokokku yang masih setengah ke tanah. Sebelum kembali berjalan menuju toko Pak Sokeh, tanpa menoleh lagi.
Pagi hari saat aku terbangun tiba-tiba ada seseorang memanggil namaku. Aku melihat keluar. Ivan temanku sudah menunggu diluar rumah kakekku dia mengajakku untuk bermain bola basket.“Ayo kita bermain basket ke lapangan.” ajaknya padaku. “Sekarang?” tanyaku dengan sedikit mengantuk. “Besok! Ya sekarang!” jawabnya dengan kesal.“Sebentar aku cuci muka dulu. Tunggu ya!”, “Iya tapi cepat ya” pintanya.Setelah aku cuci muka, kami pun berangkat ke lapangan yang tidak begitu jauh dari rumah kakekku.“Wah dingin ya.” kataku pada temanku. “Cuma begini aja dingin payah kamu.” jawabnya.Setelah sampai di lapangan ternyata sudah ramai. “Ramai sekali pulang aja males nih kalau ramai.” ajakku padanya. “Ah! Dasarnya kamu aja males ngajak pulang!”, “Kita ikut main saja dengan orang-orang disini.” paksanya. “Males ah! Kamu aja sana aku tunggu disini nanti aku nyusul.” jawabku malas. “Terserah kamu aja deh.” jawabnya sambil berlari kearah orang-orang yang sedang bermain basket.“Ano!” seseorang teriak memanggil namaku. Aku langsung mencari siapa yang memanggilku. Tiba-tiba seorang gadis menghampiriku dengan tersenyum manis. Sepertinya aku mengenalnya. Setelah dia mendekat aku baru ingat. “Bella?” tanya dalam hati penuh keheranan. Bella adalah teman satu SD denganku dulu, kami sudah tidak pernah bertemu lagi sejak kami lulus 3 tahun lalu. Bukan hanya itu Bella juga pindah ke Bandung ikut orang tuanya yang bekerja disana. “Hai masih ingat aku nggak?” tanyanya padaku. “Bella kan?” tanyaku padanya. “Yupz!” jawabnya sambil tersenyum padaku. Setelah kami ngobrol tentang kabarnya aku pun memanggil Ivan. “Van! Sini” panggilku pada Ivan yang sedang asyik bermain basket. “Apa lagi?” tanyanya padaku dengan malas. “Ada yang dateng” jawabku. “Siapa?”tanyanya lagi, “Bella!” jawabku dengan sedikit teriak karena di lapangan sangat berisik. “Siapa? Nggak kedengeran!”. “Sini dulu aja pasti kamu seneng!”. Akhirnya Ivan pun datang menghampiri aku dan Bella.Dengan heran ia melihat kearah kami. Ketika ia sampai dia heran melihat Bella yang tiba-tiba menyapanya. “Bela?” tanyanya sedikit kaget melihat Bella yang sedikit berubah. “Kenapa kok tumben ke Jogja? Kangen ya sama aku?” tanya Ivan pada Bela. “Ye GR! Dia tu kesini mau ketemu aku” jawabku sambil menatap wajah Bela yang sudah berbeda dari 3 tahun lalu. “Bukan aku kesini mau jenguk nenekku.” jawabnya. “Yah nggak kangen dong sama kita.” tanya Ivan sedikit lemas. “Ya kangen dong kalian kan sahabat ku.” jawabnya dengan senyumnya yang manis.Akhinya Bella mengajak kami kerumah neneknya. Kami berdua langsung setuju dengan ajakan Bela. Ketika kami sampai di rumah Bela ada seorang anak laki-laki yang kira-kira masih berumur 4 tahun. “Bell, ini siapa?” tanyaku kepadanya. “Kamu lupa ya ini kan Dafa! Adikku.” jawabnya. “Oh iya aku lupa! Sekarang udah besar ya.”. “Dasar pikun!” ejek Ivan padaku. “Emangnya kamu inget tadi?” tanyaku pada Ivan. “Nggak sih!” jawabnya malu. “Ye sama aja!”. “Biarin aja!”. “Udah-udah jangan pada ribut terus.” Bella keluar dari rumah membawa minuman. “Eh nanti sore kalian mau nganterin aku ke mall nggak?” tanyanya pada kami berdua. “Kalau aku jelas mau dong! Kalau Ivan tau!” jawabku tanpa pikir panjang. “Ye kalau buat Bella aja langsung mau, tapi kalau aku yang ajak susah banget.” ejek Ivan padaku. “Maaf banget Bell, aku nggak bisa aku ada latihan nge-band.” jawabnya kepada Bella. “Oh gitu ya! Ya udah no nanti kamu kerumahku jam 4 sore ya!” kata Bella padaku. “Ok deh!” jawabku cepat.Saat yang aku tunggu udah dateng, setelah dandan biar bikin Bella terkesan dan pamit keorang tuaku aku langsung berangkat ke rumah nenek Bella. Sampai dirumah Bella aku mengetuk pintu dan mengucap salam ibu Bella pun keluar dan mempersilahkan aku masuk. “Eh ano sini masuk dulu! Bellanya baru siap-siap.” kata beliau ramah. “Iya tante!” jawabku sambil masuk kedalam rumah. Ibu Bella tante Vivi memang sudah kenal padaku karena aku memang sering main kerumah Bella. “Bella ini Ano udah dateng” panggil tante Vivi kepada Bella. “Iya ma bentar lagi” teriak Bella dari kamarnya. Setelah selesai siap-siap Bella keluar dari kamar, aku terpesona melihatnya. “Udah siap ayo berangkat!” ajaknya padaku.Setelah pamit untuk pergi aku dan Bella pun langsung berangkat. Dari tadi pandanganku tak pernah lepas dari Bella. “Ano kenapa? Kok dari tadi ngeliatin aku terus ada yang aneh?” tanyanya kepadaku. “Eh nggak apa-apa kok!” jawabku kaget.Kami pun sampai di tempat tujuan. Kami naik ke lantai atas untuk mencari barang-barang yang diperlukan Bella. Setelah selesai mencari-cari barang yang diperlukan Bella kami pun memtuskan untuk langsung pulang kerumah. Sampai dirumah Bella aku disuruh mampir oleh tante Vivi. “Ayo Ano mampir dulu pasti capek kan?” ajak tante Vivi padaku. “Ya tante.” jawabku pada tante Vivi.Setelah waktu kurasa sudah malam aku meminta ijin pulang. Sampai dirumah aku langsung masuk kekamar untuk ganti baju. Setelah aku ganti baju aku makan malam. “Kemana aja tadi sama Bella?” tanya ibuku padaku. “Dari jalan-jalan!” jawabku sambil melanjutkan makan. Selesai makan aku langsung menuju kekamar untuk tidur. Tetapi aku terus memikirkan Bella. Kayanya aku suka deh sama Bella. “Nggak! Nggak boleh aku masih kelas 3 SMP, aku masih harus belajar.” bisikku dalam hati.Satu minggu berlalu, aku masih tetap kepikiran Bella terus. Akhirnya sore harinya Bella harus kembali ke Bandung lagi. Aku dan Ivan datang kerumah Bella. Akhirnya keluarga Bella siap untuk berangkat. Pada saat itu aku mengatakan kalau aku suka pada Bella.“Bella aku suka kamu! Kamu mau nggak kamu jadi pacarku” kataku gugup.“Maaf ano aku nggak bisa kita masih kecil!” jawabnya padaku. “Kita lebih baik Sahabatan kaya dulu lagi aja!”Aku memberinya hadiah kenang-kenangan untuknya sebuah kalung. Dan akhirnya Bella dan keluarganya berangkat ke Bandung. Walaupun sedikit kecewa aku tetap merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bella. Aku berharap persahabatan kami terus berjalan hingga nanti.
Perempuan dalam Baju Zirah

Semua hampir sama seperti dulu sebelum kau pergi ke Cina untuk menghadiri Kongres Perempuan Internasional itu. Kepergian yang tanpa meninggalkan pesan apa pun dan membuatku menunggu dalam pertanyaan sampai bertahun-tahun kemudian. Hingga aku paham, kenapa beberapa hari sebelum pergi, kau selalu memandangku dalam dengan raut wajah muram. Kau sebenarnya tak tahu pasti, kapan akan kembali.
Konon waktu akan mampu mengurai segalanya, membuat air keruh menjadi kembali bening. Namun saat ini waktu gagal mengurai kepedihanku padamu. Malah membuatku berkhianat pada janji untuk tidak menemuimu lagi sampai mati. Tapi, rasanya terlalu berat bagiku menafikan kesempatan melihat wajahmu sedekat sekarang. Walau tidak lagi sesegar dulu, namun sorot mata tajam dan cemerlang itu sepertinya tak pernah bisa kulupakan.
Ingatanku seolah segar kembali menoleh ke belasan tahun lalu, sewaktu penguasa paling lama di negeri ini jatuh. Kita pernah sama-sama dilempar ke dalam truk polisi karena dianggap menolak dan berkata tidak pada kekuasaan. Setelah peristiwa itu aku sudi lagi turun ke jalan berurusan dengan tongkat pemukul dan sepatu laras yang membuat pinggangku memar berhari-hari. Waktu itu kau juga mengurusi pinggangku. Sempat malu juga aku diuruti olehmu dengan setengah telanjang di antara kawan lain menyoraki kita di markas polisi. Untungnya hanya 24 jam kita diinterogasi. Mereka belum punya cukup alasan menahan lebih lama.
Mungkin lebih tepatnya telah pusing mengurusi kita. Mereja seolah dipekerjakan dalam kantornya sendiri. Direpotkan dengan mengurusi makan minum kita. Sudah begitu masih ditambah mendengarkan omongan sekenanya pula. Menambah pekerjaan bila saja menahan lama-lama mungkin pikir mereka.
Setelah peristiwa itu kau masih kuperhatikan tetap rajin dalam aksi-aksi selanjutnya. Masih kokoh merapat dalam barisan. Masih berteriak sambil mengepalkan tinju. Dan tetap lantang menyanyikan mars pembangkan ketidakadilan para penguasa; kita pasti menang!
Kadang aku menerka-nerka, betulkan kau waktu itu bicara atas nama orang-orang kalah, bukan karena gelisah mencari jati diri. Bila saja sempat kutanyakan hal ini padamu, pasti matamu seolah keluar dari kelopaknya, lali dengan ganas menyerangku sambil mengutip kalimat Mark sampai Andre Gunder Frank. Sumpah, kadang aku suka pada bagian dirimu itu. Berapi-api dan gagah. Pantas saja kau sering mendapat tugas sebagai koorlap sewaktu aksi. Kau seperti Yeni Rosa Damayanti, anak tentara yang menolak jika penderitaannya dalam penjara terlalu dibesarkan dan mengaku malu pada kawan lain yang telah menyerahkan nyawa untuk perjuangan ini.
“Aku hanya perempuan biasa yang mencoba membuktikan bahwa sekarang ini adalah abad perempuan. Juga berusaha dengan cara apa pun agar kami tidak hanya dipandang seperti sekerat daging,” katamu dengan nada tinggi.
Lalu aku pasti akan terburu mengiyakan, khawatir kalimatmu kepanjangan. Bila tidak, kau pasti dengan sukacita siap berperang kata denganku. Bisa hancur berantakan pertemanan kita bila kuladeni segala keberangasanmu itu. Padahal paling tidak, perlu waktu satu bulan berjauhan sebelum kita saling menyapa lagi.
Kau memang tipe perempuan yang mengandalkan mulut besar. Aku paham itu. Tak mungkin rasanya kau bisa terlibat dalam organisasi kampus, LSM, dan organisasi lain di masyarakat bila hanya mengandalkan bicara dan bentuk fisikmu yang cantik. Tak ada suatu hasil terbaik tanpa konkret diperjuangkan, no pain no gain! ujarmu.
Wajahmu terlihat bersemangat ketika bercerita tentang seorang Nadine Gordimer, perempuan kulit putih pemenang Nobel Sastra dari negara Nelson Mandela, yang gelisah melihat ketidakadilan kaumnya pada penduduk asli Afrika Selatan. Dia menghantam apartheid dalam novel-novelnya sehingga ia kemudian harus rela kerap terjaga tengah malam karena pengerebekan keamanan setempat untuk ditahan. Hal yang seharusnya tidak ia alami bila hanya menulis novel biasa tanpa menyinggung apartheid.
Mungkin kegelisahan semacam itu yang membuatmu tabah menyusuri perkampungan dan gang kumuh kota ini untuk membagi-bagikan kondom gratis. Hal yang membuat para pekerja seks dan preman di sekitar kawasan Stasiun Tugu dan Malioboro akrab menyapamu mbak kondom. Sering kali mereka berani tanpa sungkan menggodamu dengan anekdot jorok sebab tahu kau pasti tak akan marah.
Pada awalnya mereka memang penuh curiga padamu dan memperlakukan mu dengan kurang baik. Ada yang menyindir, bahkan sontak mengungkapkan keberatan atas kedatanganmu. Lebih jauh lagi, sempat kau juga mengalami pelecehan di kawasan ini. Namun, pada akhirnya mereka luluh juga dengan semangat pantang menyerahmu. Lagi pula kau memang tulus pada orang semacam mereka. Rasanya tidak sulit bagi orang-orang di sana menyadari bahwa sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati.
Beberapa pengalaman mereka sering kali kau bagi padaku saat kita punya kesempatan menghabiskan waktu di pinggiran pantai berdua. Tentang seorang anak perempuan belasan tahun yang dijual ibunya, atau bagaiman cara perempuan di sana yang sukses menghabiskan uang tamunya, para lelaki tua yang sebetulnya sangat pelit pada anak-istrinya. Kita lalu tertawa bila pada episode lucu, dan meringis pada episode yang tragis.
“Mereka, bagaimanapun adalah guruku. Orang-orang yang gagah berani hidup sekaligus berani mati. Kau pasti masih ingat Chairil pernah terpesona pada orang macam mereka,” katamu memukauku di sela suara gemuruh ombak Parangtritis menjelang gelap.
“Ya benar, penyair pemberontak itu pernah memang memngungkapkannya, ‘Aku suka pada mereka yang berani hidup!’ itu kan maksudmu?” ujarku menimpali.
Bila bicaramu sudah seperti ini, maka pasti kutanggapi dengan serius karena saat seperti inilah kau terlihat begitu indah. Entah kenapa aku suka saat engkau bicara tentant Tagore sampai tentang seorang Umbu Landu Paranggi, sastrawan yang menggauli setiap sudut di Malioboro dan membikin sekelompok pedagang kaki lima, gali, dan tentu saja seniman jalanannya akrab pada puisi. Katamu, dia memang pantas disebut presiden Maliioboro. Apa yang ia lakukan mirip karakter Robin Williams dalam film Dead Poet Society, seorang guru yang membuat murid-muridnya menggilai puisi.
Puisi juga kadang bisa membuatmu bertingkah gila. Seperti waktu kau ajak beberapa kawan melakukan aksi dadakan di depan sebuah gedung pertunjukan. Waktu itu almarhum Rendra akan membaca karya-karyanya dalam Disebabkan oleh Angin. Kau tuding tokoh ini menjual idealismenya dan berpihak pada golongan kaya karena harga tiket yang melambung, di luar jangkauan mahasiswa kere macam kita ini. Aku tahu pasti, sebenarnya itu adalah akal-akalanmu saja yang sedang bokek namun memaksakan diri untuk menonton.
Aku heran kenap masih bisa mengingat begitu banyak hal konyol dalam dirimu. Mungkin kau memang kawan perempuan paling aneh yang pernah kutemui. Yang selalu ingin mengemudikan motor bila kita pergi berdua. Yang mengajariku berpuisi tentant Tuhan, sementara bulir arak terserak di seputar bibir kita. Mungkin kau membayangkan saat itu serasa bagai seorang Abunawas, hedonis yang berputar arah menjadi seorang sufi lalu membuat syair menggetarkan dalam Al I’tiraf. Atau seperti Sutardji Calzoum Bahri yang bersyair tentang Tuhan dengan mulut penuh busa bir.
“Aku mungkin brengsek, namun bukan seorang ateis,” ujarmu sambil melempar botol dari tanganmu ke tengah laut.
Sekarang, setelah belasan tahun berlalu. Kekuasaan negeri ini pun sudah beberapa kali berganti. Kurasa segala kebadungan, kebrengsekan, dan kenekatanmu pasti sudah banyak berkurang. Berubah seperti juga banyak kawan seperjuangan kita dulu pun berubah. Sebagian ada di partai, sebagian memakan mentah-mentah apa yang dulu mereka maki-maki, dan sisanya tak punya cukup alasan lagi untuk tetap berjuang.
Tapi, kuyakin kau dalam hal ini masih tetap seorang pemberontak. Seperti kuduga sebelumnya, sikapmu memilih tinggal di luar Jawa sebenarnya bukan sekedar mencari suasana baru. Mesti banyak hal kau lakukan di sana.
“Setelah dari Cina, selama bertahun-tahun aku hidup seperti hippies. Berkeliling ke beberapa negara di Eropa sana. Bergabung dengan Amnesti Internasional, ikut program Greenpeace. Berteriak sebebasnya, melakukan semua yang kuingin, sampai kemudian aku rindu pulang dan menyadari bahwa tempatku memanglah bukan di sana. Alangkah bodohnya aku jika meninggalkan negeri yang sering membuat iri bangsa-bangsa lain ini,” dengan datar kau bercerita.
Agak lama kita kemudian terdiam tanpa kata-kata. Masing-masing terdiam dalam benaknya sendiri. “Lalu sebenarnya apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku agak kaku. Sebenarnta kalimat itu terdengar terlalu kaku untuk kedekatan kita, terutama setelah lama tidak bertemu.
“Aku ada acara di Jakarta. Kawan-kawan Walhi mengundangku menjadi pembicara mengenai eksploitasi alam di Borneo. Kupikir, sepertinya ada sesuatu yang belum selesai denganmu, setelah tahu kau ada di Bandung, kusempatkan mampir menemuimu sebelum terus ke Jakarta,” perlahan sekali kau bertutur.
Kita terdiam lagi beberapa waktu. Belum sempat kukatakan sesuatu, kau menyambung lagi kalimatmu.
“Seperti yang kubilang, aku memang bukanlah orang taat. Hanya saja pernah seorang kyai berkata padaku bahwa satu hikmah yang terdapat dalam beberapa ritual keagamaan kita adalah silaturahmi. Orang yang berkali-kali pergi haji, dan selalu bersujud srta membaca kitab suci, belum tentu baik di mata-Nya bila hubungan dengan sesamanya buruk. Itulah yang membawaku kemari. Jadi, maukan kau memaafkanku?”
Ya ampun. Alangkah hebatnya perempuan ini. Untuk kesekian kalinya ia mengajariku tentang memaafkan dan kelapangan hati. Tanpa mengindahkan beberapa pasangan yang juga sedang berdua di pantai itu, kugenggam tangannya dan berbisik dekat sekali di telinganya, seharusnya aku yang pertama memaafkanmu, bukan menunggumu untuk mengatakannya.

Rabu, 21 Juli 2010

salam SEMANGAT

semangat. . .semangat. . .semangat. . .hot. . .hot. . .hot. . .semangat. . .semangat. . .semangat. . .hot. . .hot. . .hot. . .by linda cendekia suprobo X10. Smanza ska jaya




FB: cendekia suprobo
TWITTER: suprobo198

cendekiasuprobo.blogspot.com
198lindacendekia.blogspot.com




we always pass by one another in the season

where the powdered snow flutters

even though i slip away into the crowd

we're looking up at the same sky

we're freezing,

as though we were blown on by the same wind

i probably don't know

everything about you

yet out of one hundred million people,
You’re a good soldier
Choosing your battles
Pick yourself up
And dust yourself off
Get back in the saddle
You’re on the front line
Everyone’s watching
You know it’s serious
We’re getting closer
This isn’t over

The pressure’s on; you feel it
But you got it all; believe it
When you fall get up oh, oh
And if you fall get up eh, eh
Tsamina mina zangalewa
Cause this is Africa
Tsamina mina eh, eh
Waka waka eh, eh
Tsamina mina zangalewa
This time for Africa
Tiga hari kunanti
Jawabanmu oh kasih
Setiap saat ku harap
Ada keajaiban dalam dirimu
Indahnya masa lalu
Tergores amarahku
Cemburu menguras hati
Galau kini menyiksa diri

Reff :
Kembalilah kau kekasihku
Jangan putuskan kau tinggalkan aku
Sekalipun sering ku menyakitimu
Tapi hanya kaulah pengisi hatiku
Oo... Maafkan aku
Oo... Maafkan egoku
Oo... Maafkan diriku
SMP Negeri 1 purwantoro
tempat siswa siswi menuntut ilmu
menjadi sekolah yg teladan
sekolah standar nasional
gedungnya nan megah serta menawan
selalu menjadi kebanggaan
prestasi selalu didapatkan
berjuang demi masa depan
stiap hari kupergi sekolah
kubelajar tanpa kenal lelah
dari pagi sampai siang hari
kublajar mandiri
kuberdoa tuk Tuhan Yang Esa
hormat guru serta orang tua
agar kelak kan dapat berguna bagi nusa bangsa


it's mars spenza
1. Afra AF
2. Agus K
3. Ahmad KA
4. Amilia
5. Andri S
6. Aprilia N
7. Ari W
8. Beta EW
9. Dhanang R
10. Dhelta WS
11. Dian D
12. Dwi R
13. Eko SA
14. Eli K
15. Faisal MF
16. Giri RP
17. Giyanto
18. Hesti YA
19. Hindun MI
20. Lina NS
21. Lina N
22. Linda CS
23. Linda ME
24. Lita L
25. Murtini
26. Mustika AKPP
27. Niken H
28. Nur I
29. Okky P
30. Pinkan S
31. Radja BP
32. Rima PR
33. Septian PW
34. Septian TL
35. Sugeng R
36. Tegar YA
37. Veiby DY
38. Widya LN
39. Windria YT
40. Yusuf RR


alumni 9A spenza pwo
Cu.. cu.. cukup sudah Kau menghantuiku Bahkan kau tak pernah lelah Cu.. cu.. cukup sudah Kau merasukiku Lemahkan ku tak berdaya Tapi kini kau bukan siapa-siapa lagi a.. aku tak butuh lagi Pengaruh cintamu.. a.. aku tak mau lagi Peduli padamu Cu.. cu.. cukup sudah Permainan ini ku akhiri tanpa dendam Ci.. cinta memang gila Dan aku pun terjebak Hingga semua berbalik racuniku Tapi kini kau bukan siapa-siapa lagi a.. aku tak butuh lagi Pengaruh cintamu a.. aku tak mau lagi Peduli padamu . a.. aku tak butuh lagi Pengaruh cintamu a.. ouwo iyee Andai ku bisa Menghapuskan kenangan Hingga detik terhenti Dan kenanganku Tanpa dirimu yeah..yeah.. . a.. aku tak butuh lagi Pengaruh cintamu a.. aku tak mau lagi Peduli padamu a.. ou yeee
look at me
u may think u see
who i really am
but you'll never know me
everyday
it's as if i play a part
now i see
if wear a mask
i can fool the world
but i cannot fool my heart

who is that girl i see
staring straight back at me
when will my reflection show
who i am inside

i am now
in the world where i
have to hide my heart
and what a believe in
but somehow
i will show the world
what inside my heart
and be loved for who i am

who is that girl i see
staring straight back at me
why is my reflection show
someone i don't know
must i pretend that i'm
someone else for all time
when will my reflection show
who i am inside

there's heart that must be free to fly
that's burn with a need to know
the reason why
must we
all conceal
what we think
how we feel
must there be a secret me
i'm forced to hide
i won't pretend that i'm
someone else
for all time
when will my reflection show
who i am inside

when will my reflection show
who i am inside

198edogawa